Semarang, 24 April 2025 - Suasana Kopium Koffie yang biasanya riuh oleh alunan musik kemarin malam (24/4) berganti menjadi ruang diskusi yang penuh gelora intelektual. Sebanyak 34 orang dari berbagai elemen Masyarakat memadati kafe yang terkenal sebagai ruang alternatif ini untuk menyaksikan dan mendiskusikan film dokumenter "Pesta Oligarki".
Acara dibuka
dengan pembacaan puisi orasi oleh Nafisatul Khoiriyah yang menyentuh relung
kesadaran peserta. "Puisi itu seperti tamparan yang membangunkan kita dari
tidur panjang," ujar salah satu peserta dari Polines.
Presiden Mahasiswa BEM KBM Polines dalam sambutannya menegaskan, "Kita tidak boleh menjadi generasi yang apolitis. Film ini harus menjadi cambuk untuk bergerak." Sambutan berlanjut dengan menyanyikan Mars Mahasiswa "Totalitas Perjuangan" yang dinyanyikan penuh semangat oleh seluruh peserta.
Selama 90
menit, ruangan hening menyaksikan tayangan yang mengungkap praktik oligarki di
Indonesia. Adegan-adegan yang menunjukkan kongkalikong kekuasaan dan ekonomi
berhasil memancing decak kagum sekaligus kemarahan peserta.
"Baru kali ini saya melihat gambaran utuh bagaimana oligarki bekerja di negeri kita," kata seorang mahasiswa dengan nada penuh heran.
Tiga pemantik dari berbagai disiplin ilmu memandu diskusi yang berlangsung panas namun tetap substantif:
1. Roy (Ekonomi Politik) mengungkap fakta mengejutkan diantarannya
·
Membahas
tarif Trump antara China dan negara adidaya sebagai contoh oligarki global.
·
Menyoroti
oligarki di lingkungan kampus yang sering luput dari perhatian.
Tanggapan atas pertanyaan peserta:
· "Partai
yang hanya menjual kader tanpa pengabdian tulus pada negara adalah bentuk
pengkhianatan terhadap demokrasi."
· Selain
demokrasi, sistem sosial-demokrasi mungkin bisa dipertimbangkan untuk
Indonesia.
2. Irsyad (Demokrasi & Sosial Budaya) memberikan analisis tajam:
·
"Demokrasi kita sedang sakit parah
akibat oligarki yang menggerogoti"
·
"Banyak politisi kita lahir dari
popularitas instan, bukan dari kapabilitas"
Tanggapan atas pertanyaan peserta:
·
"Banyak
kader mencalonkan diri hanya karena popularitas, bukan kapabilitas. Ini masalah
serius dalam demokrasi kita."
3. Reza (Politik & Hukum) menyoroti kasus nyata:
·
"Kasus Wadas dan Kendeng adalah bukti
oligarki bekerja"
·
"Threshold pemilu harus dihapus untuk
membuka ruang lebih demokratis"
Tanggapan atas pertanyaan peserta:
· "Partai
politik harus diberi tekanan publik agar memprioritaskan kader yang
berkualitas."
· "Threshold
(ambang batas) pencalonan presiden dan parlemen perlu dikaji ulang, mungkin
bisa dihapus seperti di Timor Leste."
Acara mencapai puncaknya dengan pembacaan deklarasi yang dibacakan bersama. Delapan poin deklarasi tersebut antara lain:
- Menuntut penegakan demokrasi sejati.
- Mengutuk bentrok TNI/Polri yang merusak
kepercayaan publik.
- Mendukung perjuangan petani Kendeng.
- Menuntut penyelesaian konflik agraria
Pundenrejo.
- Menolak galian C di Kendal.
- Mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset dan
Masyarakat Adat.
- Mendorong pendidikan politik yang kritis.
- Menjaga integritas demokrasi.
"Kami
akan lanjutkan perjuangan ini melalui aksi nyata, bukan hanya diskusi,"
tegas salah satu panitia saat menutup
acara.
0 Komentar