Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Mualem : Menangis di Kursi Amanah

“Mualem” barangkali adalah pemimpin daerah pertama yang terekam kamera sedang menangis, bukan karena kehilangan jabatan, tetapi karena kehilangan daya di hadapan musibah yang menimpa wilayahnya. Tangis itu tidak dipoles. Tidak disiapkan. Ia muncul sebagai pengakuan bahwa manusia, setinggi apa pun kursinya, tetap makhluk yang rapuh.
Di hadapan Najwa, ia berkata dengan kalimat yang sederhana, bahkan terlalu sederhana untuk dunia politik yang gemar berlapis-lapis makna: 

"Kita berserah diri kepada Allah, tidak kepada manusia. Sebab bergantung kepada manusia, kata Mualem, sering berujung kecewa. Sementara bergantung kepada Allah, mau tidak mau, mengajarkan kita menerima apa adanya. Lalu ia menambahkan kalimat yang sudah lama kita dengar, tetapi jarang kita hayati: bahwa syukur atas musibah adalah pintu tambahan nikmat."
Kalimat-kalimat itu sebenarnya bukan hal baru. Ia tidak menawarkan teori kepemimpinan modern, tidak pula jargon manajemen bencana. Namun justru di situlah letak kejujurannya. Di tengah budaya pemimpin yang sibuk terlihat kuat, Mualem memilih tampil lemah. Dan anehnya, kelemahan itu tidak menjatuhkan wibawa, malah memanggil empati.

Rakyat Aceh pun berbondong-bondong menguatkan gubernurnya. Bukan karena ia menangis, tetapi karena ia berani tidak berpura-pura. Dalam tangis itu, rakyat melihat diri mereka sendiri: sama-sama tak berdaya, sama-sama berharap, sama-sama belajar berserah.

Barangkali inilah pelajaran kecil yang sering kita lupakan. Bahwa pemimpin bukanlah manusia setengah dewa yang kebal air mata. Ia hanya orang yang diberi amanah untuk berjalan paling depan ketika semua orang bingung arah. Dan kadang, berjalan paling depan itu berarti berhenti sejenak, menunduk, menangis, lalu mengajak semua orang kembali mengingat: tempat bergantung kita bukanlah sesama makhluk, melainkan Sang Pemilik musibah dan nikmat itu sendiri.

Aceh hari itu tidak hanya sedang berduka. Ia sedang mengajarkan sesuatu yang mahal: bahwa iman tidak selalu tampil dalam pidato lantang, tetapi kadang hadir dalam suara yang gemetar dan mata yang basah.

Posting Komentar

0 Komentar