Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Seratus Hari Tika–Benny: Aksi Nyata atau Sekedar Simbolik?

 

Dok. Kejarfakta.co

Seratus hari. Dalam dunia politik, bukanlah waktu yang panjang, namun cukup untuk menunjukkanarah. Apakah pemimpin baru hanya berganti wajah, atau benar-benar membawa napas perubahan?

Tika dan Benny hadir bukan sekadar sebagai pasangan, melainkan duet yang menjanjikan pembaruan. Mereka datang dengan visi besar: Kendal yang lebih maju, sejahtera, adil, makmur, lestari, dan berkelanjutan. Enam kata yang, jika tertulis di baliho, cukup membuat warga berpikir dua kali: ini mimpi atau target kerja?

Seratus Hari, Seribu Simbol

Dalam seratus hari pertama, publik disuguhi berbagai simbol kerja: inspeksi pasar, kunjungan ke desa, rapat dengan OPD, dan tentu saja unggahan foto di media sosial lengkap dengan keterangan inspiratif dan tagar #KendalBerbenah.

Salah satu langkah konkret mereka adalah menyentuh kembali luka lama: Pasar Weleri. Pasar yang terbakar dan dibiarkan terbengkalai seperti cerita sedih yang tak kunjung selesai, kini mulai dibenahi. Apresiasi tentu patut diberikan. Namun, membangun pasar tidak cukup dengan mendirikan tembok, melainkan harus mampu menghidupkan denyut ekonomi rakyat kecil.

Perbaikan Masjid Agung Kendal juga menjadi langkah positif. Bangunan ibadah ini bukan semata ruang spiritual, melainkan simbol ruang publik yang dinamis. Ini menunjukkan bahwa pasangan Tika–Benny tidak hanya memoles infrastruktur, tetapi juga ingin menggugah rasa kebersamaan masyarakat.

Kritik Penulis: Evaluasi Kritis atas 100 Hari Pertama

Meski apresiasi patut diberikan, akan tidak adil jika tidak diiringi kritik konstruktif. Berikut beberapa catatan penulis sebagai warga Kendal:

1. Dari Harmoni ke Dua Matahari

Pada awal masa kampanye, Tika–Benny tampil harmonis dan kompak. Jargon “JOSS” (Jejeg, Openi, Semakin Sejahtera) menggambarkan sinergi yang menjanjikan. Namun kini, harmoni itu tampak mulai memudar. Penulis mengamati keduanya sibuk membangun citra masing-masing, seolah menjadi dua matahari yang berlomba bersinar. Sebagai putra daerah, penulis rindu akan kekompakan nyata antara bupati dan wakil bupati. Jika dua pemimpin bisa bersinergi, bukan tidak mungkin birokrasi dan masyarakat juga akan bergerak selaras.

2. Rakyat Sebagai Tuan, Bukan Partai atau Pemodal

Gelombang penolakan warga atas aktivitas galian C di beberapa wilayah seperti Brangsong dan Weleri masih terasa. Penulis memahami bahwa sebagian hasil tambang digunakan untuk pembangunan Kawasan Industri Kendal (KIK). Dari sisi ekonomi, tentu ini langkah positif. Namun dari sisi lingkungan dan sosial, rakyat tidak bisa terus dikorbankan.

Dalam demokrasi, rakyat adalah tuan, bukan hanya objek pembangunan. Penulis berharap Tika–Benny tidak hanya mendengar suara elite partai atau investor, tetapi juga menampung keluhan warga. Jika bersuara bersama rakyat terasa sulit, setidaknya hadirkan regulasi yang berpihak: seperti pengaturan CSR, pembatasan jam operasional truk, tanggung jawab atas dampak lingkungan dan sosial, serta pengawasan ketat terhadap izin usaha.

3. Menagih Janji Program Prioritas

Dalam dokumen misi, Tika–Benny menjanjikan reformasi birokrasi, peningkatan layanan dasar, pembangunan desa digital, dan penguatan UMKM serta nelayan. Namun, dalam 100 hari ini, mayoritas baru sebatas wacana atau perencanaan. Kata kuncinya: “masih proses.”

Publik tidak mengharapkan keajaiban dalam 100 hari, tetapi progres yang dapat dirasakan. Sayangnya, kanal informasi pemerintah lebih sering sibuk dengan pencitraan daripada menyampaikan capaian nyata. Sebagai contoh, penulis sangat menantikan realisasi tiga program utama:

  • Rumah Sakit Berjalan untuk pedesaan,
  • Universal Health Coverage (UHC),
  • Satu desa, satu sarjana untuk warga kurang mampu.

Yang Belum Tersentuh

Beberapa persoalan klasik belum mendapat perhatian serius: distribusi layanan kesehatan, pengangguran, pendidikan adaptif, hingga nasib petani yang selalu menjadi bahan kampanye tapi terlupakan setelah kemenangan diraih.

Kendal juga menghadapi tantangan besar lainnya: menurunnya kualitas hidup di desa, ancaman perubahan iklim, serta eksodus generasi muda ke kota tanpa kejelasan kapan kembali. Belum tampak strategi besar yang menjanjikan keberlanjutan dalam menghadapi persoalan ini.

Kesimpulan: Jalan Masih Panjang, Tapi Harapan Itu Ada

Tika dan Benny telah menunjukkan niat hadir di tengah masyarakat. Mereka tidak hanya duduk di balik meja, tetapi juga turun ke lapangan. Itu adalah permulaan yang baik. Namun, kehadiran tanpa strategi jangka panjang berisiko menjelma menjadi sekadar formalitas.

Seratus hari pertama adalah tahap awal, tapi arah sudah bisa terbaca: apakah visi mereka sekadar pemanis politik, atau betul-betul akan menjadi peta jalan pembangunan Kendal ke depan?

Masyarakat masih menyimpan harapan, walau kadang dibumbui rasa khawatir. Dan seperti biasa, harapan itu tak pernah menuntut sempurna, hanya menuntut bukti bahwa mereka tidak dilupakan.

Penulis: Danang Afi

Editor: Irsyad Akil

Posting Komentar

0 Komentar