Inspiratif.online Kendal- Konoha, sebuah negara yang penulis anggap sebagai negeri penggalan surga. Apakah berlebihan ?, kiranya tidak. Tanah yang subur, lautan yang kaya, serta penghuni yang penuh dengan welas asih akan sesama menjadi bukti kuat kalau bangsa ini spesial. Akan tetapi sayang seribu sayang, mungkin jutaan sayang. Telah terjadi degradasi moral yang masif namun pasti. Lho kok bisa ?, ya lihatlah para pamong negeri ini. Mereka telah di sumpah dengan kitab sucinya tapi dengan pongah melanggar sumpah dan malih rupa (berubah wajah/keperibadian) menjadi pengkhianat sekeji-kejinya. Rakyat yang harusnya mereka junjung layakya tuan tanah malah di khianati dengan kebijakan-kebijakan yang rasanya terkesan mencekik secara halus. Belum lagi sebagian warga yang konon terpelajar telah menciderai kepercayaan orang banyak dengan menjadi perpanjangan tangan elit tertentu, sebut saja organisasi mahasiswa yang sebenarnya adalah sayap politik seniornya. Bukan alergi apalagi apatis, sebagian dari mereka malah melenggang bersolek seolah hal itu adalah panggun catwalk yang memang harus mereka ambil. Lebih pilunya sebagian rakyat bangsa ini terkesan begitu murah harga dirinya, sesederhana menentukan pemimpin saja harus ada money politic (politik uang) agar bersedia nyoblos di TPS.
Paragraf diatas adalah contoh sudut pemikiran apatis tentang potret sengkarut bangsa ini yang tengah di hujam serentetan penerbitan undang-undang bermasalah dan panasnya klasmen liga korupsi Konoha, apakah sah untuk menjadi apatis ?, ohh boleh saja. Sebelum meniru pola pikir seperti paragraf diatas mari kita kembali mengingat beragam produk hukum leluhur bangsa ini. Sebagian diantara kita mungkin belum mengetahui jika produk hukum yang kita gunakan adalah hasil turunan dari penjajah (Belanda). Lantas apakah leluhur kita memiliki produk hukum orisinil sendiri ?, jawabannya tentu iya. Salah satu dari produk hukum tersebut bernama kitab Kutaramanawa Dharmasastra. Sebuah kitab hukum yang diterapkan pada era kerajaan Wilwatikta atau akrab disebut Majapahit, berfungsi sebagai pedoman dalam mengatur aspek kehidupan masyarakat, termasuk hukum pidana dan perdata.
Mari berfokus pada satu hukum yang agaknya oleh pemerintah era sekarang pelaku kejahatannya seolah dimanja dan kebal oleh pasal hukumnya yaitu pasal yang mengatur hukuman bagi koruptor. Dalam kitab Kutaramanawa, tindak kejahatan korupsi dikategorikan sebagai ‘Astacorah’ atau delapan jenis pencurian. Hukuman bagi pamong/pejabat yang terbukti melakukan tindakan korupsi amatlah berat. Kira-kira apa hukumnya ?, tentu hukuman mati. Belum cukup sampai disitu, bahkan ketika pelaku tindak kejahatan korupsi dibunuh oleh rakyat sebelum proses peradilan, pembunuhnya tidak dihukum, karena dianggap telah memberikan hukuman setimpal kepada pejabat korup tersebut. Selain hukuman mati, sanksi tambahan juga diterapkan, seperti penyitaan seluruh harta benda milik pelaku dan perbudakan milik keluarganya. Dari semua pasal kitab Kutaramanawa jujur penulis paling takjub dengan undang-undang tentang hukuman bagi koruptor ini. Kalau pembaca bertanya kenapa demikian ? jawabanya karena metode eksekusinya. Terdapat tiga cara eksekusi yang mungkin akan di setujui oleh pembaca yang geram akan koruptor. Metode tersebut sebagai berikut :
1. Eksekusi oleh algojo ditempat khusus
2. Penenggalaman ke laut (terpidana diikat tangan dan kakinya, kemudian di tenggelamkan di laut)
3. Celeng cineleng (koruptor di lepaskan dan di buru oleh masyarakat hingga tewas layaknya perburuan babi hutan)
Geram, satu kata yang penulis rasakan ketika menulis tulisan ini. UU Perampasan aset yang mangkrak dan pasal hukum yang lentur menjadi pemicunya. Menariknya justru UU yang menurut sebagian masyarakat tidak layak terbit malah melenggang lolos untuk terbit begitu saja (UU apa itu ?, sepertinya pembaca lebih paham heuheuheu). Penulis percaya diantara pembaca mungkin ada yang bekerja sebagai pejabat. Jika benar ada dan kalian membaca tulisan ini, pesan penulis satu yaitu, “tirulah Ratu Shima dalam menegakkan hukum”. Pejabat dan pemimpin bangsa kita tidak sepenuhnya busuk semua kok, salah satunya Ratu Shima. Dalam catatan dinasti Tang (sebuah dinasti kekaisaran Tiongkok/Cina), Ratu Shima merupakan pemimpin yang di segani karena ketegasannya dalam hukum. Salah satu kisah yang terekam dalam catatan tersebut adalah tatkala seorang penguasa Dasi/Thasi (sebutan bangsa Cina untuk orang Arab yang menempati pantai barat Sumatera) dengan sengaja meletakan sekantung emas di pinggir jalan untuk menguji ketegasan pemimpinnya dalam menegakan hukum. Naasnya dalam catatan yang menjadi korban dalam uji coba ini adalah anak dari Ratu Shima (putera mahkota), meskipun niat dari sang anak tidaklah sengaja karena tanpa sengaja menyenggol sekantung emas hingga bergeser sedikit namun hukum tetaplah hukum. Ratu Shima dengan tegas menegakan hukum yang berlaku di masa itu dengan memotong bagian tubuh anaknya yang bersentuhan dengan sekantung emas tersebut. Pada mulanya sang Ratu hendak menerapkan hukuman mati, namun setelah mendapat penolakan oleh dewan adat. Anak Ratu Shima hanya mendapat hukuman potong ibujari kaki. Yang menarik dari catatan dari dinasti Tang adalah fakta selama tiga tahun kantung emas tersebut tidak bergeser dari tempatnya sebelum tanpa sengaja tersentuh oleh kaki dari anak Ratu Shima. Sungguh jujur dan taat hukum sekali kan masyarakat pada zaman itu ?
Maksud dari penulis menulis tulisan ini sederhana, yaitu ingin menunjukkan bahwa dalam sejarah kita tidak lembek dalam hukum. Kita juga bukan bangsa yang tidak bermoral dan abai akan hukum. Salah ya salah, benar ya benar. Tidak peduli latar belakangnya, hukum haruslah tajam keatas maupun kebawah. Mungkin andai para penegak hukum tegas dan patuh akan aturan, guyonan : “Tuhan mengapa aku warga Konoha” tidak akan pernah ditulis oleh rakyatnya. Saestu lho tenan (hooh tenan) heuheuheuheu
Kontributor: Danang Afi
Editor: Irsyad Akil
0 Komentar