Sebagai warga Kendal yang tidak memiliki akses
langsung ke ruang-ruang rapat atau disposisi kekuasaan, penulis seperti banyak
orang lain. Lagi-lagi hanya bisa mengangguk sembari membaca berita. Kali ini
periha peluncuran ‘Rumah Aman Kartika’, sebuah rumah yang konon katanya sebuah
tempat yang konon akan menjadi pelindung bagi mereka yang terdampak masalah
sosial: dari korban kekerasan dalam rumah tangga sampai anak-anak telantar. Secara
gagasan, rumah ini patut diapresiasi. Tapi secara pelaksanaan, ada yang terasa
mengganjal seperti teh manis yang diseduh pakai garam. Tampilannya menjanjikan,
tapi begitu disruput, lidah merasa dikhianati. Karena ternyata, ketua Rumah
Aman Kartika bukan dipilih secara terbuka, bukan lewat mekanisme seleksi yang
mempertimbangkan pengalaman kerja sosial, psikologi, atau perlindungan
perempuan dan anak. Tapi langsung ditunjuk. Dan yang ditunjuk? Putri dari
Bupati Kendal sendiri.
Oh iya,
satu lagi: nama rumah ini pun mengusung "Kartika", yang ya semua
orang Kendal tahu merupakan nama sang Bupati. Jadi publik bisa bertanya: ini
rumah aman untuk warga, atau rumah aman untuk warisan simbolik keluarga?
Soal Nama dan Kuasa: Simbolisme yang Tidak Netral
Nama memang
bukan sekadar identitas. Ia adalah simbol. Dalam dunia kekuasaan, simbol bisa
jadi tanda kuasa, bahkan alat pengikat memori publik. Memberi nama Kartika pada
rumah layanan publik bukan hal sepele. Ketika layanan yang dibangun dengan dana
negara, dari pajak rakyat, justru mengabadikan nama pribadi penguasa, maka ada
semacam pemakluman simbolik bahwa infrastruktur ini adalah “bagian dari
legacy”. Dan kita tahu, dalam sejarah politik lokal Indonesia, simbol-simbol
itu bukan cuma tempelan. Ia adalah bagian dari narasi panjang dinasti.
Masalahnya,
rumah aman seperti Namanya mestinya menjadi milik semua, terutama bagi mereka
yang tak punya kuasa. Ketika rumah itu diberi nama dari pemilik kuasa, dan
ketuanya juga ditunjuk dari lingkar darah penguasa, maka muncul pertanyaan
wajar: “Apakah ini rumah publik, atau rumah pribadi yang dipublikasikan?”
Dari ‘Pelayanan’ Menuju Panggung Politik
Di
permukaan, peluncuran rumah ini tampak sebagai bentuk komitmen. Tapi bila
dilihat dari struktur penunjukannya, rumah ini malah terkesan seperti panggung.
Sebuah panggung untuk melatih kader politik keluarga. Panggung untuk
menyisipkan pesan bahwa keluarga penguasa tidak hanya bisa memerintah, tapi
juga "peduli". Kebaikan hati yang direkam dalam struktur formal
negara.
Kita, warga yang nonton dari bangku tribun, disuguhi drama yang sudah bisa ditebak ending-nya. Aktingnya manis, sudut kameranya bagus, tapi naskahnya basi: anak bupati naik panggung, rakyat disuruh tepuk tangan. Apakah ini bentuk regenerasi atau sekadar replikasi? Apakah ini strategi kaderisasi atau akal-akalan penguasaan panggung pelayanan publik?
Rumah Aman Tidak Cukup Hanya Aman dari Kekerasan, Tapi
Juga dari Kepentingan
Masalah
sosial bukan perkara selebrasi. Ia rumit, menyakitkan, dan seringkali sunyi.
Butuh penanganan yang berbasis pengalaman dan empati, bukan relasi darah dan
jabatan. Korban kekerasan tidak butuh pemimpin simbolik. Mereka butuh sistem
pendampingan yang paham lapangan. Butuh pemimpin yang mengerti trauma, bukan
cuma yang hafal narasi. Butuh kehadiran, bukan sekadar nama besar. Dengan
menjadikan putri Bupati sebagai Ketua, maka Rumah Aman Kartika dikhawatirkan
kehilangan satu hal penting: jarak yang adil terhadap kekuasaan.
Bagaimana
rumah ini bisa dipercaya oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, jika
pengelolaannya begitu dekat dengan struktur kekuasaan yang dalam banyak kasus
justru jadi bagian dari masalah?
Ini Bukan Soal Iri, Tapi Soal Etika
Akan banyak
yang mungkin berkata, “Ya siapa tahu memang anak bupati itu capable?” atau
“Kenapa sih selalu nyinyir kalau keluarga pejabat terlibat?” Dan saya ingin
jawab dengan tenang: kritik ini bukan soal iri, tapi soal etika.
Kapasitas
seseorang bisa diuji. Tapi kalau sejak awal mekanismenya sudah tertutup,
bagaimana publik bisa percaya bahwa yang bersangkutan memang layak? Jika prosesnya
transparan dan terbuka, siapa pun bisa mengakui kualitas. Tapi jika ditunjuk
begitu saja karena relasi darah, maka publik wajar curiga. Dalam urusan
pelayanan sosial, etika publik lebih penting dari reputasi keluarga. Dan kalau
memang ingin mengabdi, mengapa tidak lewat mekanisme yang demokratis?
Sejarah yang Terus Mengulang Dirinya
Fenomena
seperti ini bukan yang pertama. Dari pusat hingga daerah, kita sudah lama
dijejali realitas bahwa jabatan publik kerap jadi ajang ekspansi keluarga. Dulu
kita mencibir keluarga Cendana. Lalu kita diam saat keluarga penguasa daerah
melakukan hal yang sama, hanya karena mereka “tersenyum lebih ramah” dan “suka
bagi-bagi bantuan”. Tapi ingat, penjajahan politik tidak selalu datang dengan
wajah bengis kadang ia datang dengan wajah dermawan.
Dan yang paling menyedihkan adalah, banyak dari kita mulai terbiasa. Terbiasa melihat nama penguasa dicantumkan di mana-mana. Terbiasa melihat anak pejabat tiba-tiba jadi tokoh masyarakat. Terbiasa dijadikan alat tepuk tangan untuk drama keluarga yang disulap jadi agenda publik.
Rumah Tanpa Nama
Andai boleh bermimpi, saya ingin melihat Rumah Aman yang tidak membawa nama siapa-siapa. Rumah yang dibangun atas dasar urgensi sosial, dikelola oleh mereka yang memang ahli, dan dinilai dari kinerjanya bukan dari siapa ayah atau ibunya. Karena pada akhirnya, rumah yang benar-benar aman adalah rumah yang bebas dari simbol kuasa. Rumah itu tidak butuh nama. Cukup dengan komitmen, transparansi, dan keberpihakan.
Penulis: Danang Afi
Editor: Irsyad Akil
0 Komentar