Inspiratif.online Semarang- Perihal dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Ah, akhir-akhir ini kabar ini menjadi hangat di kalangan pemerhati politik negeri ini. Ada yang bilang hal tersebut menjadikan republik tercinta kita, menjadi semakin mencekam. Ada pula yang mendukung lantaran citra TNI yang baik sehingga dipercaya dapat mengelola carut marut negeri ini. Sebelum pembahasan lebih dalam mari kita lanjut ke makna dari “Dwi Fungsi”, apa maksud dari dua kata tersebut ? mari selami makna per diksi terlebih dahulu. Kata “Dwi” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti : dua, dan “Fungsi” berasal dari bahasa latin, “Functio” atau dalam bahasa Indonesia bermakna : Kinerja atau pelaksanaan. Jika ditarik menjadi sebuah kesimpulan, kata Dwifungsi memiliki arti : Dua Kinerja. Ya secara sederhana mengejewantahkan bahwa badan yang dimaksud (ABRI) memiliki dua kinerja. Entah sebagai hakikat berdirinya : angkatan bersenjata atau sebagai perpanjangan tangan elit tertentu.
Sekarang mari masuk ke isu terkini, hembusan kabar dwifungsi ABRI santer terdengar tatkala disahkannya revisi UU TNI terbaru. Para pemerhati politik menjadi was-was akan bagaimana nasib republik tercinta ketika revisi UU TNI benar-benar diterapkan, mereka takut akan pengulangan sejarah perkasanya ABRI karena memiliki ke maha kuasaan yang kuat. Tapi benarkah demikian ?, untuk membedah point of view dari masyarakat kecil (penulis bosan dengan sudut pandang intelektual yang cenderung mbulet) penulis telah mewawancarai warga yang benar-benar kecil, kali ini penulis bertanya kepada Tukang becak. Tukang becak berpendapat, “yen aku setuju mas, negoro iki wis bosok tekan oyote. Nadyan aku ora pinter nanging aku ngerasake jamane pak Harto wong mbeler podo di dor di pateni (kalau saya setuju mas, negara ini sudah busuk sampai akarnya. Meskipun saya tidak pintar tapi saya merasakan jaman pak Harto kriminal di tembak dan dibunuh)”. Ya begitulah kata tukang becak, zaman pak Harto ada Petrus (Penembak misterius) yang menyasar Gali (gabungan anak liar, sekarang lebih dikenal preman). Agaknya menurut pendapat tukang becak, ia butuh keamanan yang pasti dari tangan besi aparat yang menurut penulis adalah kerinduan akan aparat yang tegas terhadap pelaku kejahatan (baik ringan maupun berat). Meskipun untuk menerapkan kembali Petrus akan sulit, seperti biasa ada yang mulia HAM (Hak Asasi Manusia) yang menormalisasi semua bentuk kejahatan agar hukumannya tidak melanggar hak individu manusia (termasuk pelaku kejahatan parah seperti koruptor). Tentu hal ini menjadi sedikit unik, mengingat republik tercinta mayoritas beragama muslim, yang artinya hukum tegas bagi pelanggar kejahatan sudah bukan sesuatu yang tabu. Entah sejak kapan republik ini menjadi begitu lembut dan ikut-ikut menyanjung yang mulia HAM. Penulis jadi teringat guyonan Cak Nun ketika mengingat serentetan kasus sebelum era reformasi, “Sebelum reformasi yang korupsi cuma keluarga Cendana, sekarang semuanya korupsi”. Tidak nyambung ya ? ya biarlah, toh ini tulisan POV dari tukang becak dan penulis yang jengah akan sebagian kaum intelek yang keberpihakannya telah tergadai.
Lebih lanjut penulis tidak sepenuhnya mendukung revisi UU TNI menimbang dwifungsi TNI belum seberapa jika dibandingkan multifungsi DAMKAR (pemadam kebakaran) heuheuheu. Lihatlah para petugas DAMKAR yang melakukan berbagai tugas tanpa ada pungutan bagi pelapor, sungguh sesuatu yang dirindukan masyarakat kecil (termasuk penulis). Serentetan masalah yang di selesaikan oleh DAMKAR tidak bisa dianggap remeh, mereka sigap menangkap pelaku kejahatan seperti maling. Kejadian ini terjadi di Kab. Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Viva.co.id, 2025). DAMKAR sigap menjadi pelayan konseling untuk warga yang ditolak polisi, kejadian ini terjadi di Kota Pekalongan (Kompas.com, 2025). DAMKAR dengan gagah perkasa menambal jalan rusak di Semarang, jujur penulis jadi berfikir Dinas terkait sedang apa ? (JPPN.com, 2025) dan masih banyak lagi ke multifungsian DAMKAR bagi masyarakat yang jika di bandingkan dengan kubu sebelah tentu agak ........ (tolong isi pembaca sendiri titik-titiknya heuheuheu).
Mari kembali serius mengupas isu revisi UU TNI, seyogyanya dalam menyusun sebuah undang-undang harus mengutamakan aspirasi dari warganya. Perlu diingat wakil rakyat memiliki progam reses (menyerap aspirasi rakyat dan menindaklanjutinya), yang ketika ini benar-benar berjalan dengan baik semboyan “Gemah ripah loh jinawi (Tentram, makmur dan tananhnya sangat subur)” bukan sekedar semboyan lantaran ada keselarasan antara rakyat dan wakilnya. Ingatlah perihal hukum tidak hanya berkutat kepada kejahatan manusia, tapi juga tentang menjaga keberlangsungan alamnya baik itu kekayaan flora dan fauna (inilah alasan penulis mengambil semboyan ini). Warga negara republik tercinta memang wajar jika mengawasi wakilnya, lhawong sebagian wakilnya sering mbalelo (membangkang kehendak atasan, dalam konteks bernegara : rakyatnya). Oleh karenanya besar harapan penulis agar yang terhormat wakil rakyat tidak malfungsi dan lebih terbuka mendengar keinginan rakyatnya. Ingat filosofi, “wong nandur bakal ngunduh (orang menanam akan menyemai hasil)” itu benar-benar ada, jangan sampai guyonan, “jangan berbuat jahat, nanti masuk neraka bareng pemerintah” menjadi bukan lagi guyonan heuheuheu.
Penulis: Danang Afi
0 Komentar