Wacana keanggotaan Indonesia dalam BRICS menghadirkan sebuah dilema fundamental. Di satu sisi, ia diproyeksikan sebagai jalan menuju diversifikasi geopolitik dan kemandirian ekonomi dari hegemoni Barat. Namun di sisi lain, dengan realitas struktur ekonomi domestik yang oligarkis, keterlibatan ini berisiko menjadi mekanisme baru yang memperlebar ketimpangan dan melanggengkan ketergantungan. Artikel ini secara sistematis menganalisis potensi jebakan geopolitik BRICS bagi Indonesia, mengusulkan paradigma kritis sebagai lensa analisis, dan menyerukan pentingnya reformasi struktural sebagai prasyarat utama sebelum melangkah lebih jauh.
1. Pendahuluan: Janji Geopolitik di Tengah Kerapuhan Struktural
Pemerintah Indonesia menyambut wacana bergabung dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan negara-negara perluasannya) sebagai sebuah pencapaian geopolitik monumental. Narasi yang dibangun adalah tentang peluang emas untuk memperluas pasar, mengakses sumber pendanaan baru melalui New Development Bank (NDB), dan menjadi bagian dari kekuatan ekonomi-politik penyeimbang dominasi Barat.
Namun, di balik optimisme tersebut, terdapat sebuah pertanyaan krusial yang seringkali terabaikan: di mana posisi rakyat Indonesia dalam konstelasi ini? Pertanyaan ini menjadi relevan ketika kita menyoroti kondisi internal Indonesia: sebuah struktur ekonomi yang sangat terpusat, elite-sentris, dan oligarkis. Tanpa adanya transformasi fundamental di dalam negeri, keterlibatan dalam arena sebesar BRICS justru berisiko memperlebar jurang antara segelintir elite penguasa dan mayoritas rakyat.
2. Analisis Risiko: Neokolonialisme dan Jebakan Ketergantungan
Kritik utama terhadap BRICS adalah potensinya untuk menjelma menjadi wajah baru neokolonialisme global. Alih-alih menjadi aliansi negara-negara berkembang yang setara, ia berisiko menjadi konsorsium kekuatan besar yang mengonsolidasikan dominasi modal dan sumber daya atas negara-negara yang lebih lemah. Risiko ini menjadi nyata bagi Indonesia karena dua faktor utama:
2.1. Konsentrasi Kekayaan Domestik:
Laporan dari INDEF dan CELIOS (2024) memberikan data yang mengkhawatirkan: 5% kelompok elite di Indonesia menguasai lebih dari 80% saham perusahaan di sektor energi dan pertambangan. Sektor-sektor ini adalah target utama investasi dari negara-negara BRICS. Dengan struktur kepemilikan seperti ini, keuntungan dari investasi asing kemungkinan besar tidak akan terdistribusi secara merata, melainkan terakumulasi kembali ke tangan segelintir elite. Indonesia hanya akan menjadi pasar dan ladang ekstraksi baru, bukan mitra sejajar.
2.2. Pola Investasi yang Berulang:
Pola "simulasi kemandirian" yang berujung pada "realita ketergantungan" bukanlah hipotesis. Laporan UNCTAD (2023) mengenai investasi Tiongkok di Afrika menunjukkan pola yang jelas: pembangunan berbasis infrastruktur masif seringkali memperparah ketimpangan, memunculkan jebakan utang baru, dan menyingkirkan pelaku ekonomi lokal. Sangat mungkin pola yang sama akan terulang di Indonesia, di mana proyek-proyek besar dijalankan dengan minim kedaulatan dan keberpihakan pada ekonomi rakyat.
3. Paradigma Kritis sebagai Lensa Analisis: Menggagas Geopolitik Rakyat
Untuk membaca dinamika BRICS secara adil, kita tidak bisa menggunakan kacamata netral. Diperlukan sebuah lensa ideologis yang berpihak. Bagi kalangan pergerakan seperti PMII, paradigma Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi menjadi kerangka kerja yang relevan. Paradigma ini menuntut kita untuk bertanya:
Humanisasi: Apakah kebijakan ini memanusiakan rakyat atau hanya menjadikannya objek pembangunan?
Liberasi: Apakah kerja sama ini membebaskan rakyat dari kemiskinan dan penindasan, atau justru menciptakan bentuk ketergantungan baru?
Transendensi: Apakah arah kebijakan ini sejalan dengan nilai-nilai keadilan sosial dan kedaulatan bangsa?
Dari kerangka ini, lahir sebuah gagasan tandingan: Geopolitik Rakyat. Ini adalah sebuah narasi alternatif terhadap diplomasi negara yang selama ini bersifat elite-oriented. Ketika pemerintah membanggakan angka pertumbuhan dan statistik investasi, Geopolitik Rakyat mempertanyakan dampak nyata bagi petani di Sumba, nelayan di Natuna, dan buruh migran di Malaysia. Ia menolak penyalahgunaan gagasan tokoh bangsa seperti Sumitro Djojohadikusumo yang disulap menjadi justifikasi proyek, bukan penguatan struktur ekonomi kerakyatan.
4. Refleksi Historis dan Panggilan untuk Bertindak
Semangat Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung adalah simbol perlawanan negara-negara Dunia Ketiga terhadap kolonialisme. Namun, jika Indonesia bergabung dengan BRICS tanpa prasyarat yang kuat, kita berisiko mengkhianati semangat tersebut. BRICS 2024 bisa menjadi simbol kolonialisme baru yang disetujui sendiri oleh para pemimpinnya.
Oleh karena itu, kritik terhadap BRICS bukanlah sikap anti kerja sama luar negeri. Sebaliknya, ini adalah wujud cinta pada kedaulatan, pada rakyat, dan pada masa depan Indonesia yang lebih adil. Seperti yang diperingatkan oleh Bung Hatta, "Kita tidak hanya ingin merdeka dari penjajahan asing, tapi juga dari penjajahan sesama anak bangsa."
Maka, langkah yang harus ditempuh bukanlah penolakan mentah-mentah, melainkan penundaan yang disertai tuntutan:
Reformasi Struktural Ekonomi: Lakukan reformasi agraria, perkuat koperasi, dan ciptakan regulasi anti-monopoli yang tegas sebelum membuka diri lebih lebar terhadap modal raksasa.
Riset Tandingan: Kalangan akademisi dan masyarakat sipil perlu menghasilkan riset-riset tandingan yang mengkaji dampak geopolitik dari perspektif keadilan sosial.
Penguatan Suara Publik: Demokrasi harus diperluas dari sekadar bilik suara menjadi partisipasi publik dalam menentukan arah kebijakan luar negeri bangsa.
5. Kesimpulan
Bergabung dengan BRICS saat ini, dengan kondisi internal Indonesia yang masih rapuh dan oligarkis, adalah sebuah pertaruhan yang sangat berbahaya. Tanpa reformasi struktural yang mendasar untuk memberdayakan ekonomi rakyat, Indonesia hanya akan menjadi megafon baru bagi kapitalisme global yang kini bermuka Timur. Jalan menuju kedaulatan sejati bukanlah dengan tergesa-gesa masuk ke dalam aliansi kekuatan baru, melainkan dengan terlebih dahulu membereskan "penjajahan oleh sesama anak bangsa" di dalam negeri.
0 Komentar