Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Aroma Pancasila di Warung Kopi; Mini-Laboratorium Sosial

 

Suasana Coffee Lighter dimalam hari tampak depan yang ramai pengunjung (Foto Koleksi pribadi : Fitria)

Hari Lahir Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni ( Keppres No 24 Tahun 2016). Momentum ini bukan cuma tanggal merah di kalender, ramai-ramai bikin postingan di media sosial, tapi pengingat buat kita semua bahwa Pancasila itu bukan cuma teori yang dihafalin, tapi praktik yang harus dihidupkan.

Mari kita jujur, obrolan tentang Pancasila itu seringnya bikin bosan dan ngantuk. Apalagi kalau sudah pakai gaya ceramah dosen pas ospek, atau retorika pejabat saat kegiatan kenegaraan. Kaku, berat, dan rasanya cuma jadi jargon yang dihafal dan mati tanpa dimengerti rohnya. Tapi, pernahkah kita coba resapi esensinya di tempat paling sederhana seperti warung kopi?!

kalau kamu nyari Pancasila, enggak perlu jauh-jauh ke gedung DPR atau istana. Datanglah ke warung kopi terdekat atau warung kopi langganan kamu. Di sana, Pancasila itu hidup, bernafas, dan bahkan punya aroma khas. Dia bukan dogma yang kuno dan gak gaul melainkan semangat yang terus hidup beradaptasi, berinteraksi, dan tumbuh bersama dinamika masyarakat.

Bukan, ini bukan berarti warung kopi adalah kuil sakral tempat Pancasila diresmikan ulang. Jauh dari itu. Warung kopi, dengan segala hiruk-pikuk dan kepulan asap rokok hingga suara seruputan kopi, yang justru menjadi seperti miniatur dan laboratorium sosial di mana Pancasila itu hidup, berdenyut, dan kadang babak belur.

Coba deh perhatikan. Di satu meja, ada bapak-bapak  nyeruput kopi sambil ngobrol tentang harga-harga naik hingga biaya kelulusan sekolah yang diduga komersial. Ada juga tukang ojek online yang lagi nongkrong sambil nunggu orderan penumpang. Di sebelahnya, dua mahasiswi lagi asyik berdebat soal argumen mereka yang nyentuh isu feminisme dan budaya patriarki di komunitasnya. Terus ada kelompok organisasi lagi rapat hingga konsolidasi. Ini bukan sekadar kumpul-kumpul, tapi wujud nyata keberagaman dari sebuah persatuan.

Mereka datang dari latar belakang yang beda-beda, isi dompet juga beda, bahkan sudut pandang yang berbeda. Tapi, toh mereka bisa duduk bareng, ketawa, kadang berdebat, dan pulang dengan tangan berjabat. Ini bukan karena mereka tiba-tiba jadi filosof ulung yang paham betul makna toleransi. Tapi karena ada kesadaran laten bahwa di warung kopi, kita semua adalah equal (setara).

Di sini, semua orang berhak menikmati kebersamaan, menghangatkan badan, dan mengisi perut tanpa harus mati-matian mikirin bayar cicilan. Keadilan itu bukan cuma soal regulasi negara, tapi juga tentang bagaimana kita menyediakan ruang yang setara untuk semua. Bayangin kalau suasana kayak gini bisa merata di semua lini kehidupan, bukan cuma di warung kopi saja!?.

Lalu, Warung kopi itu anti kelas-kelas-an. Semua harga kopi dan jajanannya sama, mau lu datang pakai motor butut atau mobil mewah. Pelayanan juga sama ramahnya. Pemilik warungnya nggak peduli lu siapa, yang penting lu bayar. Simpel, tapi nampol. Ini adalah miniatur dari keadilan yang sering kita impikan. Di sana, yang kaya nggak bisa minta diskon lebih, yang miskin nggak diusir karena cuma pesan es teh. Ini bentuk kearifan lokal yang lebih konkret ketimbang ratusan seminar tentang pemerataan ekonomi.

Dan yang paling bikin tersenyum, adalah ketika obrolan dan perdebatan sengit itu tiba-tiba mereda karena ada suara adzan dari speaker-speaker masjid dan mushola sekitar. Tiba-tiba obrolan soal ekonomi, sosial, politik jadi hening sejenak. Ada yang beranjak, ada yang cuma diam sambil mendengarkan. Ini bukan khotbah, tapi Ketuhanan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam jeda, dalam hening yang singkat. Toleransi di warung kopi itu bukan basa-basi, tapi otomatis tanpa formalitas.

Jadi, kalau ada yang bilang Pancasila itu utopia atau cuma teori di buku-buku, ajak aja ke warung kopi (tentunya pesan kopi/ minum dan jajanannya ya). Biar mereka lihat sendiri, bahwa di balik kepulan asap dan renyahnya gorengan, ada denyut kehidupan yang jauh lebih jujur dan nyata memaknai Pancasila. Bukan dengan slogan, tapi dengan interaksi manusiawi yang apa adanya. Warung kopi adalah bukti bahwa Pancasila itu bukan pajangan dan barang mati, tapi aroma yang bisa kau hirup, bahkan dari secangkir kopi dan jajanan yang kamu pesan.

"Pancasila tuh dasarnya sila 1-3, tujuannya sila 5, cara untuk mencapainya sila 4." ~Sujiwo Tejo

Penulis: Ayrus Surya

Editor: Irsyad Akil

Posting Komentar

0 Komentar